Jumat, 19 Februari 2010

Nikah Siri-Kawin Kontrak

MENTERI AGAMA SURYADHARMA ALI: ; Nikah Siri-Kawin Kontrak, Kebutuhan
20/02/2010 08:18:05 JAKARTA (KR) - Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali kembali menegaskan, pemerintah tidak mengakui telah mengeluarkan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Meski demikian, ia menuturkan, nikah siri dan kawin kontrak adalah kebutuhan. ”Karena itu, negara kemungkinan tetap akan mengaturnya ke depan. Tapi, akan seperti apa pengaturannya, belum bisa disampaikan,” kata Suryadharma kepada wartawan di Kantor Kementerian Agama, Jumat (19/2). Hukum perkawinan dalam bentuk UU, menurutnya, perlu karena yang mengatur perkawinan ini belum ada. Padahal, Indonesia adalah negara hukum dan setiap pengaturan hak dan kewajiban negara termasuk pembatasan hak warga negara harus dilakukan sesuai undang-undang. Sementara itu mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menilai adanya pidana nikah siri kurang relevan, karena pelanggaran hukum materiil tidak pernah ada pemidanaan. ”Untuk itu, perlu dicari alternatif lain. Sebab, pemidanaan itu tidak serta merta menyelesaikan pelanggaran hukum,” kata Bagir saat * Bersambung hal 31 kol 1 ditanya wartawan di sela-sela Seminar Hukum Materiil Peradilan Agama di Jakarta, Jumat (19/2). Ketua Dewan Pers ini mencontohkan pengadilan di Belgia yang harus menyewa lembaga pemasyarakatan karena daya tampungnya tidak mencukupi. Karena itu, saat ini harus ada alternatif lain, misalnya menggeser pemidanaan badan masuk penjara ke dalam bentuk tindakan-tindakan wajib kerja sosial. Mengenai pidana yang berkaitan dengan perkawinan, menurutnya, sudah pernah diatur di Turki dan Israel. Namun, apa yang diupayakan kedua negara itu akhirnya gagal. ”Padahal, mereka ingin mengatur pencatatan perkawinan,” katanya. Terjadinya kegagagaln, jelas Bagir, karena rakyat Turki merasa tidak memerlukan aturan dalam perkawinan. Pasalnya, dalam hal ini sudah ada hukum agama yang mengatur mengenai perkawinan tersebut. Sementara di Israel, menurut Bagir, justru lebih kompleks lagi. Pasalnya, ancaman pidana dalam aturan perkawinan justru tidak dipedulikan. ”Yang terjadi justru sebaliknya, perkawinan dilakukan secara gelap,” katanya seraya menyebutkan, pencantuman ancaman pidana dalam aturan perkawinan seharusnya dilakukan dengan hati-hati. Sementara itu pengamat sosial dan mantan Dekan Fisipol UGM Prof Sunyoto Usman mengatakan, rencana kriminalisasi praktek nikah siri tidak akan efektif dan lebih kental nuansa politisnya. Di samping pesimis, pemidanaan pelaku nikah siri tak efektif jika RUU tersebut jadi diajukan dan dibahas di DPR. ”Saya melihat nantinya hanya akan menjadi sekadar proyek. Pertanyaan saya siapa yang bisa melarang? Bagaimana cara melarang dan menghukumnya? Kalau misalnya nanti jadi diajukan dan dibahas saya meyakini ujung-ujungnya hanya projek belaka,” kata Prof Sunyoto Usman. Dalam pandangan Prof Sunyoto, yang lebih efektif saat ini adanya sosialisasi mengenai pentingnya sebuah lembaga perkawinan kepada masyarakat serta sulitnya poligami. Langkah ini lebih efektif dibanding memberlakukan pemidanaan bagi pelaku nikah siri. Dengan gencarnya sosialisasi, kata Prof Sunyoto, sekaligus akan mengurangi terjadinya perkawinan yang dilakukan secara instan. ”Cara yang akan lebih efektif sosialisasi soal pentingnya sebuah perkawinan serta sulitnya poligami. Dengan itu masyarakat tidak akan lagi melakukan perkawinan dengan instan,” ujar Prof Sunyoto Usman. (Ful/Edi/Asp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar